Ketidakadilan sosial yang kini menerpa Indonesia, dimana jurang antara “the have” dan “the have not” semakin kentara. Kenyataan tersebut menumbuhkan kecaman dari berbagai lapisan masyarakat, sekaligus menuntun ekonomi kapitalisme tumbuh membesar.
Penolakan terhadap ekonomi kapitalisme juga telah muncul di Indonesia. Bahkan sikap penolakan tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk, hingga perlawanan fisik yang melahirkan tokoh-tokoh lokal, seperti Si Pitung.
“Memahami perlawanan itu tidak sebatas pada persoalan nasionalisme. Tetapi juga bentuk penolakan atas pola ekonomi kapitalisme,” ujar Ketua Panitia Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia (MAMI), Dr. Istianingsih, Ak.,CA,CSRS., di sela seminar bertema De[kon]struksi Kapitalisme Melalui Perlawanan siPitungDari Betawi sebagai “Sang Lain” di kampus UMB, Jakarta, Kamis (14/4/16).
Sikap melawan kapitalisme, lanjutnya terlihat dari motif perjuangan si Pitung sebagai tokoh di zaman itu. Kapitalisme yang dibangun kelompok penjajah telah menimbulkan kesenjangan luar biasa. Bahkan penguasaan asset terjadi pada kelompok-kelompok tertentu.
Istianingsih menambahkan melalui seminar tersebut, Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia (MAMI) menyadari bahwa pemikiran yang berasal dari Indonesia sangat layak untuk diangkat dan diapresiasi dalam sebuah diskursus keilmuan akuntansi. Pemikiran khas Indonesia memuat unsur budaya yang melekat dengan kehidupan spiritual, religius dan keberpihakan yang kental dengan kepentingan Indonesia.
“Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia memang kaya dengan sifat emansipatif dan dekonstruktif,” tuturnya.
Harus diakui, bahwa perlawanan si Pitung dari Betawi yang melegenda, pembebas masyarakat dari cengkeraman penjajah, dapat dijadikan sebagai sebuah metodologi “Sang Lain”. Perspektif itulah yang perlu menjadi kajian akuntansi postmoderen.
Rektor UMB, Dr. Arissetyanto Nugroho, MM., menambahkan upaya menggali pola riset yang berbasis budaya lokal sangat relevan. Hal itu mendekatkan ilmu pengetahuan dengan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat setempat semakin erat.
Tidak hanya itu saja, menurutnya nilai hasil riset yang didasari pemahaman budaya lokal mampu mendekati realitas persoalan lokal. Sekaligus menjadikan ilmu pengetahuan berkembang lebih kearah menjawab masalah sekitarnya.
“Ilmu akuntansi memang harus hidup dalam masyarakat. Ilmu akuntansi pun perlu menggali pada budaya lokal. Disinilah ilmu akuntansi dapat menjawab persoalan sekitarnya,” tuturnya.
Seminar yang diprakarsai Program Pascasarjana Manajemen Akuntansi ini menghadirkan sejumlah pembicara handal. Mereka yang hadir antara lain Sekretaris Jenderal Kemenristek DIKTI Prof. Dr. Ainun Naim, AK.,CA, Ketua IAI KAPd DR. Nunuy Nurafiah, SE.,M.Si., Ak,CA, Dewan Pengurus Nasional IAI Prof. Mardiasmo, Ph.D.
Dengan dihadiri jumlah peserta mencapai 500 orang, serta Co Host Seminar yang berasal dari IBI Kwik Kian Gie, Universitas Airlangga, UPN Veteran Jakarta, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Udayana, Universitas Surabaya, Universitas Jambi, Universitas Gorontalo, STEI Rawamangun, UNAS, Universitas Muhammadiyah Jakarta, Universitas Moestopo Beragama dan perguruan tinggi negeri maupun swasta dari daerah lain